Wednesday, March 27, 2013

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku. Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan.
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya Bahwa rumahku adalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi mengapa aku tak pernah bertanya: Mengapa dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk-Nya itu? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali kusebut itu sebagai musibah Kusebut itu sebagai Ujian, kusebut itu sebagai petaka Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita ketika aku berdo’a, kuminta titipan yangcocok dengan hawa nafsuku.

Aku ingin lebihbanyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak populeritas, dan kutolak sakit , ku tolak kemiskinan seolah semua “derita”adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasihnya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih. Kuminta dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusan-Nya yang tidak sesuai dengan keiinginanku.

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan ,  hidup dan matiku hanya untuk beribadah. ”ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

Tuesday, March 26, 2013



Marilah Marilah seluruh warga bidan
Dikawasan nusantara
Berhimpun di dalam satu wadah
Ikatan Bidan Indonesia
Membela dan setia mengamalkan
Ajaran pancasila
Bekerja dengan tulus ikhlas
Mengabdi mengemban amanat bangsa
Ingatlah sumpah jabatan kita
Kepada Tuhan yang kita ikrarkan
Bersama selalu jadikan pegangan
Janganlah membuat perbedaan
Terhadap miskin kaya
Tugas sucimu sebagai penyelamat
Seluruh wanita di Maya Pada
demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa :


1. bahwa saya sebagai bidan akan melaksanakan tugas saya sebaik-baiknya menurut undang undang yang berlaku dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan.
2. bahwa saya sebagai bidan,dalam melaksanakan tugas atas dasar kemanusiaan, tidak akan membedakan pangkat, kedudukan, keturunan, golongan, bangsa dan agama.
3. bahwa saya sebagai bidan,dalam melaksanakan tugas akan membina kerja sama, keutuhan dan kesetiakawanan dengan teman sejawat
4. bahwa saya sebagai bidan, tidak akan menceritakan kepada siapapun segala rahasia yang berhubungan dengan tugas saya, kecuali diminta pihak pengadilan untuk keperluan kesaksian.

SPC, Denpasar – Bagi pecinta sepatu, nama Niluh Djelantik berarti sebuah kenyamanan berbalut cinta dan gairah. Nama yang juga membawa sepatu produk dalam negeri berkiprah di industri fesyen bahkan menembus pasar dunia. Cinta dari Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik terhadap sepatu terutama high heels yang membuat karyanya mendapat tempat istimewa.

Semua berawal dari cinta. Sejak kecil, Niluh memang menaruh perhatian lebih pada alas kaki. Klise, karena Niluh kecil tak penah mendapat sepatu yang pas. Sebagai orangtua tunggal, ibu Niluh berjuang agar bisa menyekolahkan putrinya di tempat terbaik. “Mama lebih fokus pada pendidikan, jadi [sepatu] harus diganjel sama kain karena dua atau tiga ukuran lebih besar,” kenang Niluh, seperti dikutip, Sabtu (16/2/2013).

Kadang, sepatu Niluh keburu rusak atau berlubang saat ukuran mulai pas di kaki. Kesederhanaan itulah yang membuat Niluh berangan-angan untuk memiliki sepatu yang pas di kaki. “Ma, nanti kalau aku sudah gede, sudah bisa kerja sendiri, aku beli sepatu yang pas deh,” citanya kepada sang ibu.

Setamat SMA,  Niluh meneruskan pendidikan di Jakarta sesuai dengan keinginan ibunya. Niluh kuliah di manajemen keuangan Universitas Gunadarma mulai 1994. Setahun di Jakarta, Niluh belajar mencari kerja agar bisa mandiri. Pekerjaan pertama, operator telepon di sebuah perusahaan tekstil asal Swiss.

Mulai berpenghasilan, Niluh teringat hasratnya memiliki sepatu yang pas di kaki. Gaji pertama didapat, ia langsung membeli sepatu di kawasan Blok M, Jakarta. Sepatu bertumit tinggi menjadi pilihan karena Niluh bekerja kantoran. Harganya Rp 15.000 disesuaikan dengan kantong Niluh saat itu. “Sepatu pertama saya yang pas di kaki, gak nyaman dipakai,” ungkapnya. Seiring membaiknya kondisi keuangan, Niluh mampu mendapatkan sepatu impian yang nyaman di kaki dan pas di hati.

Kemesraan Niluh di Jakarta buyar pada akhir 2001. Garangnya kriminalitas Ibu Kota menyergap perempuan kelahiran 15 Juni 1975 ini pada suatu senja di Bilangan Senen. “Nggak diapa-apain sih, cuma rasa takut itu sangat ada,” ujar Niluh. Rasa takut yang membuat Niluh meninggalkan karier di Jakarta. Apalagi sang Ibu juga memintanya untuk kembali ke tanah kelahiran.

Di Bali, Niluh kembali mendapatkan pekerjaan di perusahaan fashion milik pengusaha Amerika Serikat. Niluh dipercaya Paul Ropp untuk memegang kendali sebagai Direktur Marketing. Kerja kerasnya berbuah sukses, Paul Ropp berkembang pesat. Di tahun pertama yakni 2002, penjualan naik hingga 330%. Butik bertambah hingga 10 lokasi.

Tapi, hasrat pembaca setia novel-novel karya John Grisham ini tak pernah lepas dari alas kaki. Terlebih saat ibunya menawarkan sebuah pabrik kecil milik temannya yang hendak bangkrut. “Kenapa kamu nggak bantu Bapak ini memasarkan sandal beliau,” jelas Niluh menirukan permintaan Ibu. Namun, Niluh terpaksa menolak karena ingin lebih berkonsentrasi bersama Paul Ropp. “Rencana itu tertunda.”

Perjalanan bersama Paul Ropp tak berlangsung lama. Pekerjaan marketing harus ditinggalkan karena Niluh jatuh sakit saat tengah berada di New York pada awal 2003. Dokter meminta Niluh tak berpergian jauh sekurangnya dalam enam bulan. Padahal, profesinya menuntut Niluh untuk terbang ke sejumlah negara. “Dibuat mikir lagi,” lanjut Niluh, “Harus memutuskan tinggal di Bali atau New York.”

Niluh memutuskan kembali ke Bali, Niluh benar-benar terobsesi oleh “kekurangan” dia  di masa lalu. Pada saat itu pula, Niluh bertemu Cedric Cador. “Kita bertemu, jatuh cinta.” Peluang pun tercipta karena Cedric memang terbiasa memasarkan produk Indonesia di Eropa. Prinsipnya bahwa tiap perempuan seharusnya bisa memakai sepatu dengan tumit setinggi 12 cm dengan nyaman akhirnya melahirkan produk sepatu bernama Nilou, yang tak lain adalah slang lafal Niluh di lidah bule. “Otomatis lahirnya dari cinta.”

Niluh fokus mendesain sepatu-sepatu cantik berbahan dasar kulit. Semua dikerjakan tangan agar kualitas tetap terjaga. Di awal pendirian, Niluh membutuhkan waktu hingga dua bulan untuk menyelesaikan satu desain sepatu. Alokasi waktu paling lama untuk berdiskusi dengan pengrajin. Biasanya, Niluh menunjukkan sepatu mahal koleksinya ke tukang. “Saya tanya ke mereka, bisa nggak bikin yang lebih bagus dari ini,” kata penggemar alas kaki karya Manolo Blahnik dan Christian Louboutin ini.

Untuk membedakan dengan produsen sepatu lainnya, Nilou fokus ke pembuatan sepatu dengan tumit antara 10 cm hingga 12 cm. Menurut Niluh, sepatu tumit tinggi yang baik adalah sepatu yang tetap nyaman dipakai meski sudah dipakai selama delapan jam. Bukan sepuluh menit.

Itu sebabnya, Niluh begitu peduli pada proses pembuatan. Satu tukang, jelas dia, bertanggung jawab untuk menyelesaikan sepasang sepatu. Dari memotong bahan, menjahit, hingga membentuk hak sepatu. Tak masalah jika dalam satu hari workshop-nya hanya bisa memproduksi satu pasang sepatu. Sebab, kualitas produk jauh di atas kuantitas. “Kalau saya melihat lima pasang sepatu yang berjajar di etalase, saya tahu siapa pembuat masing-masing sepatu itu,” kata Niluh. Sebab, antara satu tukang dan tukang lain memiliki gaya yang berbeda, meski hal itu hanya akan tampak di mata Niluh seorang.

Tak disangka, koleksi pertama Nilou langsung booming di Prancis. Pesanan pun membanjir. Hingga 4.000 pasang. Pada 2004, Ni Luh mendapatkan kontrak outsource dari jaringan ritel Topshop yang berpusat di Inggris. Pintu perdagangan ke Eropa kian terbuka lebar. Di tahun yang sama, seorang perempuan berkewarganegaraan Australia berkunjung ke gerai Nilou di kawasan Seminyak, Bali. Perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Sally Power ini mengaku terkesan dengan sepatu Nilou dan menawarkan diri untuk menjadi distributor di Negeri Kanguru.

Nilou semakin tenar. Pada saat bersamaan, desainer-desainer internasional yang berproduksi atau mencari inspirasi di Bali ikut memakai produk Nilou. Dari situlah Niluh memulai hubungan profesional mendesainkan sepatu untuk perancang-perancang busana dunia seperti Nicola Finetti, Shakuhachi, Tristanblair, dan Jessie Hill.

Sejumlah selebriti Hollywood papan atas, seperti Uma Thurman, supermodel Gisele Bundchen dan Tara Reid, dan Robyn Gibson (mantan istri Mel Gibson) merupakan sebagian perempuan yang fanatik memakai sepatu Nilou. Sepatu made in Bali ini kini dipajang di ratusan etalase di 20 negara di dunia, selain di kantor pusat Nilou di Denpasar. “Kalau Uma beli sepatu Nilou di Saint Barth.” bisik Ni Luh, merujuk ke sebuah pulau kecil di Kepulauan Karibia.

Kalau di awal pendirian Niluh hanya mampu memproduksi tiga pasang sepatu, itupun hanya barang pajangan, Nilou memiliki kapasitas produksi hingga 200 pasang sepatu per bulan. Dahulu, hanya memiliki dua karyawan, Nilou dibantu 22 karyawan dan tiga asisten kepercayaan. Jika toko pertamanya jauh dari kesan eksklusf dengan tembok kusam, dan berdinding anyaman bambu (gedhek), Nilou telah membuka 36 butik di 20 negara.

Niluh mengakui inspirasi merancang sepatu didapat dari mana saja. Baik pada saat sedang membaca buku favorit yang membahas arsitektur dan interior desain maupun ketika berada di Niluh Djelantik atelier bersama para pembuat sepatu. Ide-ide yang muncul ini biasanya langsung Niluh berikan konsepnya kepada sang shoes maker dan mereka langsung menerjemahkannya menjadi sepasang sepatu yang cantik.

Sepatu-sepatunya kebanyakan memakai bahan baku kulit asli, dikombinasikan dengan karung goni, kuningan, kayu, hingga manik-manik. Atas nama eksklusivitas, Nilou menghargai sepasang sepatunya hingga Rp 4 juta. Omzet perusahaan yang diraih pun terbilang besar, mencapai Rp 800 juta untuk setiap bulan.

Di tengah kesuksesan, cobaan kembali datang. Pada 2007, Niluh mendapat tawaran dari agen di Australia dan Prancis untuk melebarkan sayap. Nilou diproduksi secara massal di Cina dengan iming-iming sejumlah besar saham. Dengan tegas, Niluh menolak. Dia tak ingin cintanya yang melekat setiap pasang sepatu yang dihasilkan dari workshopnya tergantikan oleh mesin atas nama kapitalisme. “Saya tak mau apa yang dibina dari nol dibawa ke luar negeri. Berkah dari Tuhan kembali ke anak-anak [pengrajin],” kilas Niluh.

Namun, keputusan itu harus menjadi pil pahit. Nilou yang sudah mendunia ternyata sudah didaftarkan pihak lain. Penolakan Niluh tak membuat bergeming. Kongsi pecah. “Mereka tetap jalan dengan mass production bermerek Nilou berbasis di Cina,” ujar Niluh. Karena alasan itu pula, dia terpaksa membunuh Nilou, brand yang lahir dan tumbuh dari cintanya. Niluh kembali ke belakang layar dengan berkonsentrasi memproduksi sepatu untuk desainer asing. “Yang penting mesin jahit tetap jalan, anak-anak tetap bareng aku, kita gak misah.”

Tak ingin terlalu lama tenggelam dalam kegamangan, Niluh kembali mencoba peruntungan di bisnis sepatu. Kali ini ia berjuang sendiri. Awal 2008, pecinta shopping dan travelling ini kembali membangun usahanya dengan memproduksi sepatu bermerek “Niluh Djelantik”. Agar tak terulang, brand Niluh Djelantik langsung dipatenkan.

Setahun kemudian high heels buatannya sudah melanglang buana kembali di berbagai negara Eropa, Australia dan Selandia Baru. “Julia Robert memakai produk saya, ketika pembuatan film ‘Eat Pray Love” di Bali kemarin,” ujar Niluh.

Label baru ini bahkan telah menembus Globus Switzerland pada 2011, yang merupakan salah satu retailer terkemuka di Eropa. Sepatu-sepatu ini mulai dipasarkan pada musim panas 2012. Niluh belum lama ini juga bekerja sama dengan retailer terkemuka untuk membuka Niluh Djelantik di Rusia.

Atas kerja kerasnya, Niluh meraih Best Fashion Brand & Designer The Yak Awards in 2010. Dinominasikan sebagai Ernst & Young for Ernst & Young Entrepreneurial Winning Women 2012 Awards. Sebagai persembahan bagi pecinta high heels, Niluh membuka butik Niluh Djelantik seluas 250 meter persegi di Bali pada pertengahan Maret 2012.

Kisah jatuh bangun bersama high heels dikubur dalam-dalam dan menjadi pembelajaran untuk bangkit bersama Niluh Djelantik. Dia tak pernah menyesali keputusan menolak dan membenamkan Nilou. Keputusan yang memiliki dua konsekuensi yakni bangkrut karena melawan perusahaan yang lebih besar atau justru berhasil. “Meski keberhasilan itu tidak semata-mata dinilai dengan uang,” tegas Niluh. Tak terbilang siapa saja pesohor dunia yang memakai Niluh Djelantik, “Karena semua wanita pemakai [sepatu] Niluh Djelantik adalah selebritis buat saya,”

Niluh Djelantik, bagi ibu satu anak ini, bukan lagi sekadar sebuah merek atau butik. Keseharian di factory, butik, hingga hubungan klien sudah seperti keluarga besar. Ada kebahagiaan saat seorang wanita merasa nyaman memakai Niluh Djelantik.

Jauh di lubuk hati, cita-cita untuk terus mengibarkan Niluh Djelantik di kancah internasional terus dipupuk namun dengan tetap menjaga eksklusivitas. Yang pasti, ekspansi ke negara lain tak akan mengubah prinsip awal Niluh Djelantik yakni ‘dibuat dengan cinta’. (SPC-20/tvOne)

Perjalanan pergolakan hidupku dimulai pada saat semester akhir perkuliahanku.  Disinilah pergolakan hidupku dimulai, saat dimana aku sangat membutuhkan dukungan finansial untuk menunjang kelulusanku justru kedua orang tuaku mengalami kesulitan  keuangan  yang luar biasa bapakku sebagai karyawan IPTN waktu itu ikut dalam program pensiun dini yang diselenggarakan oleh perusahaannya yang tidak dibekali tunjangan pesangon sedikitpun. Bukan hanya kondisi keuangan keluarga yang saat itu sedang susah kejadian gempa jogja membuat beberapa dokumen penulisan tugas akhir saya hampir musnah bahkan tugas akhirku yang sudah tersusun  rapi itu pun harus musnah  virus yang ada dikomputer. Saat itu betapa perasaan ini hancur oleh kondisi yang benar-benar sulit untuk di hadapi bayangan tidak lulus di semester ahir itu nampak jelas membayangi tiap detik pikiranku, ditambah lagi bayangan kemarahan dan kekecewaan keluarga jika saya tidak lulus waktu itu juga terus membayangi hari-hariku…saya masih bersyukur atas dorongan semangat teman-teman yang memberikan dukungan moral dan tenaga mereka untuk bersama-sama membantu penulisan tugas akhirku…masing-masing membantu dengan sepenuh kemampuan mereka agar aku bisa lulus bersama-sama mereka. Kesulitan ternyata belum berakhir, Kesedihan dan kegundahan  menyeruak setelah ternyata dosen yang harusnya tanda tangan harus  berangkat ke jakarta untuk study S2 nya, sontak jantung berdetak luar biasa di iringi kegundahan dan tangisan kepasrahan yang tiada henti sambil aku menyelesaikan semua, sore itu 15 menit sebelum waktu pemberangkatan jadwal kereta dosenku ke jakarta pekerjaanku telah selesai. Segera aku telpon  dosenku “ Assalamualaikum ibu dimna? Sudah berangkat belumbu?”  langsung di jawab “ Saya sudah di stasiun mau masuk kereta” mendengar jawaban dosenku sontak aku lagsung memacu sepeda motor ke stasiun,saat baru mau masuk di veron lonceng kereta tanda  kereta akan berangkat berbunyi..ku telpon ibu dosenku “ Ibu di gerbong berapa saya sudah di stasiun” di jawab “ saya di gerbang  4 tapi ini sudah mau jalan tika” sontak saya langsung berkata “ ibu saya ke gerbong ibu, ibu bisa keluar di pintu? “ ya..aku berlari untuk mengejar dosenku di pintu gerbang sambil menyiapkan halaman  yang harus di tanda tangani akhirnya dapat lah aku sodorkan lembaran yang harus di tandangani  sambil kereta berjalan, ibu dosen itu menandatangani  bahkan  ibu itu juga sambil sedikit melempar dalam memberikan halaman itu..saat itu juga saya berteriak..Allohuakbar..Allohuakbar diiringi banjir air mata kebahagiaan yang tidak bisaku bendung sambil menatap ibu dosenku yang juga terharu berlalu dengan keretanya…Seluruh badanku lemas oleh kebahagiaan yang sangat mustahil untuk di pikirkan dengan logika. Ya Alloh sungguh aku berlindung dari segala ketentuan yang engkau berikan  dan aku beriman dengan Qodho dan Qodarmu dengan menyempurnakan Ikhtiar….
Continued : Masa di Bojonggambir