Wednesday, March 27, 2013

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku. Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan.
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya Bahwa rumahku adalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi mengapa aku tak pernah bertanya: Mengapa dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk-Nya itu? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali kusebut itu sebagai musibah Kusebut itu sebagai Ujian, kusebut itu sebagai petaka Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita ketika aku berdo’a, kuminta titipan yangcocok dengan hawa nafsuku.

Aku ingin lebihbanyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak populeritas, dan kutolak sakit , ku tolak kemiskinan seolah semua “derita”adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasihnya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih. Kuminta dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusan-Nya yang tidak sesuai dengan keiinginanku.

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan ,  hidup dan matiku hanya untuk beribadah. ”ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Categories:

0 comments:

Post a Comment